Sticky Sidebar

TRUE

Page Nav

HIDE

Grid

GRID_STYLE

Classic Header

{fbt_classic_header}

Top Ad

//

Berita:

latest

Islam dan Pendidikan Seks

Jayadi, MA #  Ketika menginjak remaja, anak mulai tertarik dengan lawan jenisnya, ia mulai berfikir bagaimana harus berperan sebagai...

Jayadi, MA # 

Ketika menginjak remaja, anak mulai tertarik dengan lawan jenisnya, ia mulai berfikir bagaimana harus berperan sebagai pria atau wanita sehingga dapat diterima masyarakat sesuai dengan jenis kelaminnya.
Islam tidak memandang pendidikan seks itu sebagai hal yamg tabu. Islam justru menganjurkan agar orang tua memberikan informasi seks kepada anak-anaknya sesuai usia dan tingkat perkembangannya. Islam telah menjelaskan bahwa kebutuhan seksual adalah naluri dan fitrah manusia.
Jika dorongan seksual seseorang disalurkan sesuai dengan tata nilai dan moralitas, maka tidak menimbulkan dampak yang buruk bahkan bernilai ibadah, tetapi apabila penyalurannya itu telah mengarah kepada bentuk-bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan seksual, maka bisa jadi akan membawa dampak serius bagi kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Namun kenyataannya, masalah yang terakhir inilah yang semakin hari semakin meningkat frekuensinya, khususnya yang terjadi dikalangan remaja.
Kehidupan manusia sering diwarnai permasalahan seksual, karena seks merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri. Setiap manusia normal baik pria maupun wanita yang punya keinginan untuk berhubungan seksual dengan lawan jenisnya. Hal ini dikenal dengan seksual/insting seksual (Idris Mahmudi 2009: 3). Kenyataan ini ditegaskan dalam firman Allah:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wnita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah tempat kembali yang baik (surga)” (QS. Ali Imran: 14)
Masa remaja merupakan fase perkembangan yang rawan karena remaja sering mengalamai gejolak jiwa yang ditimbulkan oleh berbagai keadaan perkembangan pada dirinya. Perkembangan yang mempunyai pengaruh kuat terhadap timbulnya gejolak jiwa remaja adalah perkembangan seksual.
Usia remaja adalah masa mulai berfungsinya hormon seksual untuk kemudian tumbuh dan berkembang menuju kematangan seksual di usia dewasa. Berfungsinya hormon seksual mendorong munculnya berbagai perilaku seksual pada remaja, misalnya lebih sering memperhatikan remaja lawan jenis, bergaul lebih dekat dengan mereka, bersenda gurau atau bahkan mengganggunya. Pada sebagian remaja, perilaku yang dilakukan sering sudah sampai pada tingkat pelanggaran norma agama dan kemanusiaan.
Akibat kurangnya pengetahuan remaja tentang seks yang benar terjadilah penyimpangan perilaku seksual yang sangat berbahaya, yang akhirnya membawa kerugian pada diri sendiri maupun orang lain. Pendidikan seks di sekolah-sekolah Amerika tidaklah membantu mengurangi muncul-nya penyakit kelamin atau kehamilan para remaja. Hal ini disebabkan pendidikan seks itu sendiri tidak mampu meng-ubah kebiasaan seks para remaja. Menurut Marion Wriht Elderman, Presiden Cildren’s Defense Fund (Dana Per-lindungan Anak), dalam sebuah laporannya, dari setiap 20 anak remaja, sepuluh orang diantaranya aktif melakukan hubungan seksual, namun hanya 4 orang yang mau meng-gunakan alat kontrasepsi, 2 orang mengalami kehamilan, dan 1 orang melahirkan anaknya. Pada tahun 1982, lembaga studi John Hopkins menemukan bahwa 1 dari 5 orang anak berusia 15 tahun, 1 dari 3 orang anak berusia 16 tahun telah melakukan praktik seks. Praktik seks ini bertambah sampai 43% bagi anak yang berusia 17 tahun (Shahid Athar, 2004: 8) dan pada tahun 1950, angka kehamilan gadis-gadis yang belum menikah “hanya” 13,9%. Namun, pada tahun 1985, angka tersebut meningkat menjadi 59% (lihat Shahid Athar, 2004: 9).
Bagaimana pula dengan perilaku seksual remaja di Indonesia? Ternyata dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Informasi dan Pelayanan Remaja (PILAR) PKBI Jateng pada bulan Oktober 2002 terhadap 1000 mahasiswa di Semarang yang menunjukkan, aktivitas mereka ketika pacaran sebanyak 6,7% atau 67 mahasiswa mengakui telah pernah melakukan hubungan seks, sisanya di bawah level tersebut (Azam Syukur, 2005: 53).
Fenomena di atas tentu hanya sebatas sampel dari sebagian banyak kasus perilaku seksual yang menyimpang. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab meningkatnya kecenderungan tersebut. Di samping faktor-faktor genetis atau konstitusional yang herediter, juga disebabkan oleh lingkungan yang mempengaruhi kehidupan anak, terutama remaja. Para remaja umumnya mendapat pengalaman dari teman-teman sebayanya, buku-buku bacaan, televisi, VCD, bahkan di internet semakin banyak variasi yang ditampil-kan sehingga dengan begitu para remaja hanya mendapat informasi yang kurang lengkap. Pengetahuan yang parsial tersebut, justru mengkibatkan kegoncangan kepribadian remaja yang umumnya masih sangat labil, sehingga besar kemungkinannya akan mudah terjerumus kepada perilaku seksual yang menyimpang.
Untuk menanggulangi dari penyimpangan seksual ter-sebut, nampaknya akan lebih efektif bila lewat pendidikan seks (Sex Education) yang proporsional dan bertanggung- jawab, yaitu pendidikan seks yang tidak hanya menekankan informasi seks (sex information atau sex intruction) yang hanya mempelajari sebatas anatomi tubuh laki-laki dan perempuan yang dipertunjukkan dengan alat-alat peraga yang bersifat sugestif-hedonis, yang hanya mempertontonkan hal-hal yang erotis dan romantis sebagaimana pendidikan seks yang ada di negara-negara Barat. Lebih dari itu, pendidikan seks yang diperlukan adalah pendidikan seks yang melihat persoalan seks yang dilihat dari beberapa aspek, biologi, sosial, etis, dan normatif. Pendidikan seks yang dipandang sebagai salah satu instrumen pendidikan untuk membimbing anak agar menjadi dewasa dan mengerti benar tentang arti dan fungsi seks, sehingga dapat mempergunakan dengan baik selama hidupnya.
Selain di sekolah, pendidikan seks juga merupakan tanggung jawab keluarga, karena keluarga adalah lembaga pendidika yang pertama dan utama bahkan dapat dikatakan yang paling bertanggung jawab terhadap segala kasus yang menimpa remaja (anak mereka).
Pendidikan seksual yang disosialisasikan melalui jalur pendidikan agama memiliki nilai plus, karena pendidikan agama memiliki kekuatan psikoreligius pada siswa di dalam penanaman moral. Dorongan pencarian nilai moral, ber-kaitan dengan dorongan serta perilaku seksualnya. Nilai moral agama tentang kehidupan seksual itu akan menjadi jawaban yang mampu menjadi dasar dan arah kehidupan yang sesuai kehidupan remaja, mendampingi pengetahuan tentang kehidupan seksual dari sudut ilmu yang lain.
Lembaga swadaya masyarakat Synovate Research telah melakukan survei pada September 2004. Survei digelar di empat kota, yaitu: Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Jumlah respondennya 450 orang remaja putra-putri, berusia antara 15 sampai 24 tahun. Mereka berasal dari kalangan masyarakat umum dengan kelas sosial menengah ke atas dan ke bawah.
Hasilnya hanya 5% dari responden remaja itu yang mendapatkan informasi yang mendidik mengenai seks dari orang tua atau pihak lainnya. Sisanya, tidak mendapatkan informasi yang mendidik mengenai seks dari orang tua atau pihak lainnya. Kata Camita Wardhana, Project Director Synovate Research, dari penelitian terungkap bahwa sekitar 65% informasi tentang seks, mereka peroleh dari kawan-kawannya. Tetapi ada 35% lainnya yang mengetahui seks dengan menonton film porno.
Islam sebagai dasar pandangan hidup (philosophy of life) serta tata aturan kehidupan (system of life) baik dalam kehidupan perorangan atau dalam kehidupan masyarakat, memberikan jawaban atas persoalan di atas. Dalam Islam, seks selalu dipandang secara serius dan seharusnya tetap demikian, dan seks bukanlah sarana untuk bersenang belaka. Dalam Islam terdapat banyak ajaran yang dijadikan dasar dalam memberikan pendidikan seks yang proporsional dan bertanggung jawab pada anak khususnya remaja. Diantaranya tentang perkembangan seksual semenjak usia dini, penilaian Islam terhadap kehidupan seksual, perkembangan kehidupan seksual yang sehat dan menyimpang menurut Islam, dan lain sebagainya. Ajaran tersebut sudah semestinya menjadi bagian materi pendidikan agama di sekolah yang disampaikan oleh guru agama.
Cuplikan dari Buku “Pendidikan Seks bagi Remaja dalam Perspektif Islam, Karya: Jayadi M. Zaini, S.Pd.I, MA


Tidak ada komentar