Adnan, M.S.I. # Pengertian # Istilah dikotomi berasal dari bahasa Inggris, yaitu dichotomy yang berarti pembagian dua bagian, pem...
Adnan, M.S.I. |
# Pengertian #
Istilah dikotomi berasal dari bahasa Inggris, yaitu dichotomy yang berarti pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikotomi diartikan pembagian dalam dua kelompok yang saling bertentangan. Sedangkan menurut al-Faruqi, dikotomi merupakan dualisme religius dan kultural. Jadi, arti dasar dari dikotomi adalah memisahkan sesuatu yang padu menjadi dua hal yang berbeda sehingga tampak bertentangan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dikotomi pendidikan adalah memisahkan kelompok mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum untuk disampaikan kepada peserta didik di sekolah/madrasah. Dari simpulan tersebut, bisa dimaknai bahwa pada mulanya ilmu pengetahuan itu disampaikan dalam satu-kesatuan, integral, dan saling berhubungan. Namun setelah keilmuan tersebut dipengaruhi oleh banyak hal, akhirnya ilmu pengetahuan itu dipisah menjadi dua keilmuan yang tampak saling bertentangan, seperti kelompok ilmu pengetahuan agama dan kelompok ilmu pengetahuan umum.
Setelah memahami makna dikotomi pendidikan, maka selanjutnya akan dijelaskan pula definisi dualisme pendidikan. Sebenarnya istilah dualisme itu lebih tepat dirujuk maksudnya dari bahasa Latin. Dualisme itu berasal dari dua kata, dualis atau duo berarti dua, sedangkan ismus itu berfungsi dalam membentuk kata nama dalam sebuah kata kerja. Jadi, dualisme adalah keadaan yang menjadi dua, dan ia adalah suatu sistem atau teori yang bersandarkan pada dua prinsip yang menyatakan bahwa ada dua substansi.
Menurut Rosnani Hashim, dualisme merupakan dua faham yang memiliki asas dan landasan yang berbeda baik secara historis, filosofis maupun ideologi. Sementara al-Attas menyatakan bahwa asal usul dari konsep dualisme itu sebenarnya terkandung di dalam pandangan hidup tentang alam (world view), serta nilai-nilai yang membentuk budaya dan peradaban Barat. Ide tentang hal tersebut bisa ditelusuri pada zaman Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa kecerdasan seseorang itu merupakan bagian dari pikiran atau jiwa yang tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik. Jadi dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, fenomena mental adalah entitas non-fisik dan raga adalah fisik. Oleh karena itu, faham dualisme ini melihat fakta secara mendua. Akal dan materi merupakan dua substansi yang secara hakikat atau ontologisnya terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak berkaitan antara satu dengan lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, jika dikotomi dan dualisme tersebut dihubungkan dalam konteks pendidikan di Indonesia, maka bisa dipahami bahwa dikotomi dan dualisme merupakan pemisahan keilmuan menjadi dua kelompok, yaitu ilmu pengetahuan keagamaan dan ilmu pengetahuan umum. Namun, dari kedua istilah itu, terdapat dua perbedaan yang cukup signifikan, yaitu dikotomi lebih terfokus pada aspek isi atau konten materi, sedangkan dualisme itu lebih mengarah pada sistem pengelolaan pendidikan, seperti madrasah di bawah naungan Kementerian Agama dan sekolah di bawah payung Kementerian Pendidikan Nasional.
Akar Dikotomi dan Dualisme Pendidikan di Indonesia
Persoalan dikotomi dan dualisme terasa sudah mendarah-daging dalam pendidikan di Indonesia. Hal ini lantaran dikotomi dan dualisme itu sudah ada sejak lama, tepatnya ketika Belanda menjajah negeri ini. Latar belakang munculnya dikotomi dan dualisme dalam pendidikan itu didasarkan pada beberapa kepentingan Belanda sebagai bangsa penjajah, seperti: untuk meningkatkan pengetahuan mereka berkaitan dengan ilmu-ilmu umum dan pengetahuan tentang masyarakat Indonesia, keperluan tenaga pembantu rumah tangga dari penduduk pribumi sehingga mereka diberikan pendidikan secukupnya, ingin mendapatkan simpati dari warga penduduk pribumi karena jasa pendidikan yang diberikan, kepentingan misionaris, dan lain sebagainya.
Pendidikan yang diterima rakyat pribumi tentu tidak sama dengan apa yang didapatkan oleh orang-orang Belanda. Perlakuan diskriminasi dalam soal pendidikan sangat kentara, seperti diberlakukannya sistem dualisme pendidikan, yaitu: ada sekolah khusus untuk orang Belanda dan ada juga sekolah khusus untuk pribumi (pesantren, madrasah), ada sekolah khusus orang-orang kaya dan ada pula sekolah khusus untuk rakyat-rakyat miskin, bahkan ada lagi sekolah yang diberikan kesempatan untuk melanjutkan pelajaran, tapi ada juga sekolah yang tidak diberikan izin untuk melanjutkan pelajaran.
Berdasarkan dualisme yang diciptakan seperti itu, terlihat jelas bahwa pendidikan yang diberikan bukan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan taraf kehidupan masyarakat, namun lebih ditujukan untuk mempertahankan perbedaan sosial agar masyarakat pribumi tetap terpecah belah. Hal ini sejalan dengan sistem politik devide et impera Belanda, yaitu politik adu domba, dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar tidak ada kekuatan besar yang mengancam dan mampu untuk mengalahkan Belanda. Tidak heran, selama Belanda menjajah Indonesia, rakyat sangat miskin, terbelakang dari pendidikan, bahkan pribumi yang tergolong kaya dan punya kekuasaan seringkali menindas saudaranya sendiri. Hal itu menunjukkan bahwa politik devide et impera Belanda itu benar-benar sukses diterapkan di Indonesia selama 350 tahun, dan salah satu jalurnya yang digunakan adalah pendidikan dengan sistem dualisme.
Melalui sistem dualisme tersebut, ternyata pemerintah Belanda dengan mudah mengawasi dan mengontrol secara ketat pendidikan yang dilaksanakan oleh rakyat pribumi. Salah satu kebijakan Belanda untuk mengawasi pelaksanaan pendidikan Islam di pesantren atau madrasah, adalah dengan penerbitan Ordonansi Guru, yaitu setiap guru agama wajib memiliki surat izin dari pemerintah Belanda. Selain kebijakan itu, ada juga kebijakan Belanda yang dikenal dengan nama Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie), yaitu penutupan sekolah atau madrasah yang tidak memiliki izin atau mengajarkan mata pelajaran yang tidak disenangi oleh pemerintah. Kebijakan lainnya adalah peraturan mengenai netral agama di sekolah umum, seperti yang tertera di dalam Indische Staatsregeling bahwa pendidikan umum itu netral, artinya pengajaran yang diberikan harus menghormati keyakinan masing-masing.
Untuk memaksimalkan sistem pengawasan yang dilakukan, maka pemerintah Hindia Belanda membentuk dua lembaga kedepartemenan, yaitu Departemen van Onderwijst en Eerendinst yang bertugas untuk mengawasi pengajaran agama di sekolah umum, dan Departemen van Binnenlandsche Zaken yang bertugas untuk mengawasi pendidikan Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan madrasah. Dari sinilah mulainya sistem dualisme dalam pendidikan itu terbentuk. Ironisnya, ketika Belanda kalah, Indonesia kembali di jajah Jepang, dan ketika Jepang juga berhasil diusir dari Indonesia, tapi sistem pendidikan yang dualisme tersebut masih tetap dipertahankan hingga saat ini.
Sedangkan mengenai dikotomi pendidikan, istilah tersebut telah lama ada. Menurut pemikiran al-Faruqi, munculnya dikotomi tersebut disebabkan oleh imperialisme dan kolonialisme Barat atas dunia Islam, serta adanya pemisahan antara pemikiran dan aktivitas di kalangan umat Islam. Rembesan dikotomi yang melanda dunia Islam tersebut, ternyata hingga ke Indonesia. Hal ini mungkin disebabkan oleh mayoritas dari penduduk Indonesia yang beragama Islam. Apalagi pengaruh jajahan dari Belanda dan Jepang, tampaknya semakin memperkuat eksistensi dikotomi pendidikan yang hingga saat ini belum teratasi.
Tulisan ini merupakan bagian isi dari buku “PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH” karya Adnan Mahdi, S.Ag, M.S.I.
Tidak ada komentar